Prasangka
“Aarrgh.....”
Tubuhku
lemas sekali rasanya setelah semalaman mengerjakan tumpukan tugas-tugas kuliah
yang tak pernah ada habisnya. Mataku terasa perih saat kubuka. Silau lampu yang
kalah dengan terangnya mentari yang menyusup masuk melalui tirai jendela
membuat pandanganku semakin samar. Mataku terbelalak melihat jam dinding. Aaaaah...jam
setengah delapan lewat. Aku harusnya sudah siap berangkat sekarang. Kaede chan
pasti sudah menungguku di persimpangan.
Aku
langsung bangkit dengan tergesa. Tanpa menghiraukan selimut yang masih
berantakan karena belum dilipat, aku langsung berlari menuju kamar mandi. Hhhhhhh...hhhh.hhh.
Nafasku tak beraturan saking terburunya aku. Keluar dari kamar mandi, aku
langsung bergegas mengenakan gamis berbahan kaus dengan kombinasi warna merah
muda dan peach, sekaligus aku kenakan ciput putih dan jilbab merah muda yang
paling kusuka setelah mengikat rapi rambut panjang sebahuku.
Setelah
selesai berdandan, aku rapikan selimut dan memasukkan kasur lipat ke dalam
lemari geser. Karena kamarku ada di lantai dua, aku langsung bergegas turun ke
bawah. Menuju dapur menemui Touko dan Makoto san yang pasti sudah hampir
selesai sarapan. Saking terburunya, aku tak sempat lagi sarapan.
Beruntung
Touko san yang tahu aku kesiangan sudah menyiapkan bekal makan siang untukku.
Ia serahkan bekal makan siang dengan senyuman hangat, layaknya seorang ibu yang
tersenyum pada anaknya sendiri. Mereka pun tak lupa menyemangatiku supaya tetap
semangat belajar. Aku balas dengan anggukan sopan dan senyum senang tersimpul
di bibirku.
Selama
di Jepang aku tinggal di rumah keluarga Tachibana. Mereka sudah seperti
pengganti orang tuaku selama hidup di Jepang.
Mereka sungguh baik padaku, Touko san berusia 55, tahun ini dan Makoto
san berusia 60 tahun. Mereka tahu bahwa aku seorang muslim dan tahu ada
beberapa makanan yang tak boleh aku makan.
Syukurlah
mereka mau menerimaku apa adanya, sehingga mereka bersedia menghindari makan
makanan itu selama aku bersama mereka. Dan beruntungnya lagi mereka memang
belakangan lebih suka memakan makanan yang kaya serat seperti buah dan sayur,
sehingga jarang mengkonsumsi daging. Sungguh Maha Suci Allah yang sudi
menjaga makananku sehingga tetap halal, Alhamdulillah..
Setelah
itu, aku langsung pamit berangkat, lalu berjalan dengan cepat menuju pintu
keluar sambil mengenakan mantel hangat. Setelah menutup pintu, aku langsung
berlari sekencang yang aku bisa.
“Ohaiyo,
Lita-chan..!!” seru Kaede-chan sambil tersenyum hangat. “Ohaiyo.Kaede-chan...hhh..hhhh”
balasku dengan nafas yang terdengar terengah-engah. Itu karena aku tadi harus
berlari melewati tiga blok untuk bisa sampai di persimpangan. Untunglah, Kaede
masih menungguku walaupun saat ku lihat jam di tanganku, sudah melewati pukul
delapan. Alhamdulillah..legaku dalam hati.
Kaede
adalah teman dekatku di Jepang. Kami adalah mahasiswi jurusan Fashion Designer
di Tokyo Metropolitan University. Kami sudah akrab selama setengah tahun aku
berada di negeri sakura ini. Kebetulan homestay-ku lumayan dekat
dengan rumah Kaede-chan, hanya berjarak tiga blok, sehingga kami seringkali
berangkat ke kampus bersama.
Biasanya
kami bertemu di persimpangan jalan dekat rumah Kaede, karena rumahnya lebih
dekat dengan jalan raya. Seperti pagi ini kami bertemu dan berangkat bersama.
Kami hanya perlu berjalan sekitar dua
meter untuk sampai di halte bus. Atau jika kami ingin menggunakan kereta bawah
tanah jaraknya pun hanya tiga meter dari halte bus yang biasa kami singgahi.
Tak
terasa sudah bulan Maret, dan musim dingin pun berganti semi. Perlahan
bongkahan es yang membekukan ranting-ranting pohon, dan salju yang menyelimuti
hampir seluruh permukaan bumi mulai mencair. Mentari bersinar lebih cerah hari
ini. Terimakasih ya Allah, Engkau izinkan aku melihat sebagian kecil dari
kebesaran-Mu. Syukurku dalam hati.
***
Tiga
bulan pertama aku tinggal di Jepang ku habiskan kebanyakan waktu hanya untuk
belajar bahasa Jepang. Sebelum masuk mengikuti perkuliahan di kelas, aku
diharuskan belajar bahasa Jepang terlebih dahulu di International Student
Institute (ISI), yang terletak di pusat kota. Aku dan kawan-kawan yang
senasib diwajibkan menghafal setidaknya 1.000 kata per hari.
Kepalaku
pening, perutku terasa mual. Aku hampir muntah karena muak dengan tekanan harus
mampu berbahasa Jepang selama tiga bulan pertama. Setiap hari aku pulang dengan
kepala pusing dan wajah tertekuk.
Beruntung aku tinggal bersama keluarga
Tachibana jadi mereka sangat membantu dalam penguasaan bahasa Jepangku. Mereka
menyadari kesulitanku menguasai bahasa Jepang. Karena itulah mereka tetap
bersikap ramah dan mengajakku berbincang walaupun aku hanya tersenyum,
mengangguk atau menjawab dengan kata-kata pendek saja.
Lama-kelamaan
aku mulai terbiasa dengan semua tekanan. Aku mulai berani untuk membuka
perbincangan saat makan malam. Sehingga dalam kemampuan berbicara aku merasa
lebih percaya diri dibanding sebelumnya. Aku pun mulai latihan membaca walaupun
ini adalah keterampilan yang sangat sulit. Alhamdulillah . .perlahan
semua mulai berjalan lebih baik.
***
Saat
pertama aku mengikuti perkuliahan di Tokyo Metropolitan University di
pertengahan bulan Februari (setelah tiga bulan aku belajar bahasa Jepang),
penerimaan teman kelas terasa cukup hangat. Tak terlalu banyak perbedaan dengan
kelas perkuliahan di Indonesia. Tapi sungguh dosen di Jepang memang dikenal
sangat tegas dan berdisiplin tinggi. Mereka tak suka mentolerir performance atau
kinerja yang setengah-setengah. Mereka tak ragu memberikan kritik bahkan
teguran keras disertai ceramah panjang selama berjam-jam demi menyadarkan
mahasiswanya.
Pernah
sekali aku dipanggil ke ruangan salah seorang dosen. Beliau mencerca hasil
penugasanku. Waktu itu aku mendapat tugas membuat analisis terkait trend
design saat ini dalam bentuk tulisan essai (boleh dalam bahasa Jepang
maupun bahasa Inggris). Karena saat itu aku belum tahu dimana perpustakaan
universitas, dan belum terlalu suka membaca artikel atau buku berbahasa Jepang
karena sulit dibaca.
Maka
aku berpikir untuk mencari informasi di internet mungkin sudah cukup. Aku hanya
perlu mencari beberapa informasi dari situs-situs internasional yang kebanyakan
berbahasa Inggris. Akhirnya aku menemukan beberapa situs yang baik untuk
referensi, akhirnya aku susun sebuah artikel dari beberapa referensi tersebut.
Sayangnya,
sensei tak cukup puas dengan hasil kerjaku. Beliau bilang kalau hasil
kerjaku belum sampai pada analisis yang aku buat sendiri. Dan mestinya aku
menuliskan kembali beberapa informasi dari beragam referensi tersebut dalam
bahasaku sendiri disertai penambahan referensi tertulis berupa artikel cetak
dan buku-buku yang banyak tersedia di perpustakaan kampus.
Sebenarnya,
sebelum ini aku pernah diberi peringatan dalam bentuk saran. Seperti ketika aku
diminta melakukan penelitian tentang macam-macam jenis kain yang bisa dipakai
sesuai musim yang ada di Jepang. Aku tak banyak mengumpulkan data penelitian.
Aku hanya membaca satu atau dua buku dan selebihnya mencari informasi melalui
internet.
Pada saat itu sensei mungkin memaklumi kekuranganku ini,
karena aku masih baru dan masih menyesuaikan diri. Namun, setelah penugasan
berikutnya dan masih tak banyak perubahan, akhirnya sensei memanggilku
ke ruangannya dan aku diceramahi selama hampir dua jam.
Sensei
selalu menekankan makna tanggung jawab yang benar pada setiap mahasiswanya,
makanya beliau tak mau begitu saja menerima pekerjaan yang asal selesai. Bagi
sebagian orang mungkin ini dianggap memberatkan mahasiswa. Namun, setelah
beberapa kali aku dinasihati dan dipanggil ke ruangan sensei, aku
mencoba berpikir positif.
Dan
lama kelamaan aku mulai memahami bahwa sebenarnya sensei justru sangat
memperhatikan setiap mahasiswa didikannya. Beliau ingin anak didiknya menjadi
orang yang bersungguh-sungguh dalam melakukan apapun dan mendidik mereka supaya
tak begitu saja menyerah dengan segala keterbatasan yang terkadang hanya
dijadikan alasan, dan bukan dijadikan sebagai pemecut semangat untuk lebih
baik.
Alhamdulillah.
.kehidupanku
di Jepang beserta segala pengalaman baru membuatku belajar makna tanggung jawab
dan kesungguhan. Terima kasih ya Allah..Engkau berikan kesempatan yang
berharga ini...Gumamku dalam hati.
***
Kuncup-kuncup
bunga pohon Plum mulai nampak, menandakan Musim Semi sudah tiba. Semi pertama
selama hidupku. Hembusan angin berdesir menyentuh lembut daun telingku yang
terbalut jilbab merah jambu, serupa warna sakura. Musim dingin yang tak
bersahabat akhirnya berlalu.
Di
awal musim dingin yang baru saja berlalu, aku ingat kala itu aku sangat senang
melihat dengan mata kepalaku sendiri, butir-butiran lembut berwarna putih
berjatuhan dari langit. Ya, butiran itu adalah salju. Musim dingin biasanya di
awali dengan turunnya salju.
Dinginnya Jepang di musim dingin melebihi
dinginnya Bandung di Indonesia. Suhunya bisa mencapai titik minus. Bahkan di
Hokkaido, bisa mencapai -200 Derajat Celsius. Saking dinginnya, tubuhku pernah
serasa membeku.
Terkadang
aku jadi malas mandi. Beruntung dinginnya suasana Jepang saat itu, bisa
dicairkan dengan perbincangan hangat bersama keluarga Tachibana. Kami jadi
semakin sering berbincang banyak hal dalam keseharian kami. Dan yang paling
mengasyikan adalah ketika Touko dan Makoto san menceritakan kencan mereka saat weekend.
Mereka
terkadang pergi menonton teater atau nonton bioskop atau berkunjung ke rumah
teman dan kerabat. Mendengar cerita mereka membuatku serasa menjadi bagian dari
keluarga ini. Membuat suasana dingin berubah menjadi semakin hangat saja.
Saat
musim semi tiba, semangat rasanya ikut kembali bersemi. Jalanan pun mulai ramai
dilalui orang yang berjalan. Mereka berjalan sangat cepat. Jalanan di Jepang
pun biasa ramai di jam kerja sekitar pukul 9 pagi dan 5 sore, namun
beruntungnya karena terdapat banyak moda transportasi dan peraturan lalu lintas
yang tegas, membuat lalu lintas di Jepang tak sepadat di Jakarta. Dan semua serba
tertata dan teratur.
Di
hari Senin ini kami berangkat pukul 8 dan lebih memilih menggunakan bus, alasan
utamanya karena aku khususnya, senang memandangi tata ruang kota ini. Sulit
bagiku untuk tidak sedikit-sedikit membandingkan Indonesia dan Jepang. Karena
perbedaannya pada beberapa hal nampak sangat kontras.
Dalam
perjalanan sesekali aku mengecek akun jejaring sosial mencari-cari kabar yang
menarik perhatianku.
“I’ll see you..Japan..Temui aku di sana” mataku
terbelalak, jantungku berdegup kencang karena terkejut.
Tak sengaja aku temukan
berita bahwa salah satu temanku tak lama lagi akan ke Jepang. Dan aku pastikan
nama akunnya, aku tak salah lihat, Aditya Suseno.
Ia adalah salah satu temanku
dulu sewaktu di SMA. Dan ia memang seringkali ikut olimpiade Biologi, dan kabar
yang terakhir kudengar sebelumnya ia mengambil jurusan Biologi di Institut
Pertanian Bogor. Mungkin kali ini ia ke Jepang untuk acara yang serupa itu.
Itu
mengingatkanku tentang perbincangan kami dulu saat SMA. Kami dulu sering
menjadi perwakilan sekolah jika ada beberapa lomba, aku dulu mewakili ekskul
menjahit yang aku ikuti dan ia seringkali menjadi perwakilan dari ekskul
Kelompok Ilmiah Remaja.
Bersama beberapa teman perwakilan yang lain kami cukup
banyak mengenal satu sama lain, karena kami seringkali menjadi perwakilan
sekolah dalam beberapa agenda di luar sekolah seperti perlombaan dan
undangan-undangan ilmiah maka mau tak mau tentu kami akan saling mengenal.
Pernah
suatu kali dalam perjalanan menuju tempat Seminar Ilmiah Internasional di
wilayah Jakarta Pusat, kami berbincang satu sama lain. Kami memperbincangkan
cita-cita dan rencana kami setelah SMA. Kami bersepeluh saat itu, ada temanku
Mariam, Dino, Faisal, Juan, Sofiyah, Zahra, Ali, Rina, Aditya dan aku, Lita.
“Hmm..
aku berniat melanjutkan ke jurusan pendidikan anak usia dini” ujar Mariam
temanku yang mewakili ekskul Pramuka.
“Karena aku rasa mendidik anak sejak
kecil adalah hal yang amat penting terlebih semakin banyak saja yang anak-anak
kecil itu perlu pelajari, namun pastilah tak mudah dilakukan. Jadi aku amat
penasaran mempelajari banyak hal tentang itu” tambahnya sambil tersenyum malu-malu.
“Uuu...Mariam
keibuan banget ya.“ujar Rina sambil tertawa. “Kalau aku masih belum
tertarik sama apa-apa, tapi yang jelas aku suka belajar bahasa jadi mungkin aku
akan pilih jurusan bahasa.” tambah Rina.
“Wajar saja dia mau lanjut
bahasa, soalnya dia memang jago kalau ikut lomba begituan. Hahaha..”
komentar Juan si Ketua ekskul Taekwondo, Rina yang diledek balas tertawa. “Kalau
yang lain gimana?” tanya Juan lagi.
Kami
terdiam sejenak berpikir lagi, karena agak lama Juan akhirnya mengambil
inisiatif, “Kalau gue pengen ke Beijing belajar kungfu langsung dari ahlinya
. . hehehe” ujarnya sambil tertatawa garing.
“Huuu...di sini juga ada kalee...”
ledek Rina. “Soalnya gue ngefans banget ama Jacki Chan and Bruce Lee jadi
gue juga pengen banget liat tempat pertama mereka belajar kungfu, jadi biar
nambah semangat gitu.“ tambahnya penuh semangat sambil memasang wajah
sungguh-sungguh disertai tangan yang dikepalkan ke atas.
Rina tak bisa berkata
apa-apa lagi selain menimpali “Iya dah, kita doain dah biar seneng nih anak.” Disambut gelak tawa yang lain.
“Lita-chan,
yuk siap-siap. Sudah mau sampai.” Ujar Kaede sambil menepuk bahuku,
membuyarkan lamunanku seketika. Tak terasa aku sudah hampir tiba di Halte dekat
kampus, kalau saja Kaede tak menepukku tadi mungkin sudah kebablasan.
“Hai’.
.” jawabku tersenyum malu. “Kamu seperti tadi sedang melamun. Apa ada
masalah? Dai jobu?” Tanya Kaede penasaran.
“Dai jobu, aku tadi melihat
status salah satu teman SMA dan aku jadi teringat sesuatu. Gak ada masalah kok“
balasku sambil menunjukkan wajah baik-baik saja.
“Syukurlah kalau tak ada
masalah.“ ucapnya lega. Kami pun turun bus dan melanjutkan perjalanan menuju
kampus dengan berjalan kaki.
Aku
sejak dulu sudah senang berjalan kaki, tapi setelah aku tiba di Jepang rasanya
hobiku berjalan kaki semakin menjadi saja. Ada banyak alasan kenapa aku senang
berjalan kaki.
Kalau di Jakarta dulu, karena aku senang sekali memperhatikan
aktivitas orang di sekelilingku, sewaktu di Jepang seperti sekarang ini pun
masih itu alasannya, namun yang membuatku semakin senang adalah karena di
Jepang selalu tersedia lahan untuk pejalan kaki disertai dengan keindahan tata
ruang dan pemandangan alaminya.
Hmmm...desiran angin membawa serta aroma
musim semi yang khas, membuat perasaanku yang tengah tak tenang karena terlalu
senang sekaligus penasaran tersebab status itu merasa lebih sejuk.
Alhamdulillah....,
kami masih bisa tiba di kampus pukul sembilan.
***
Di
Sabtu pagi yang cerah ini tak sengaja aku membaca status Aditya saat membuka
akun twitter.
Aku pun dikejutkan lagi, “I’m here now. ..I’ll waiting
to meet you.” Begitu statusnya tertulis. Deg..deg..deg.. suara degup
jantungku terdengar jelas sampai ke telinga. Rasanya jantungku mau copot. Aku jadi teringat kembali perbincangan saat
SMA itu.
Setelah
Juan, Zahra, Ali, dan Dino sama-sama berniat melanjutkan ke jurusan ekonomi,
dengan alasan mereka ingin memperdalam ilmu yang mereka sudah dapat, karena
mereka mengambil kelas IPS waktu SMA.
Sedangkan Faisal berniat melanjutkan ke
jurusan Hubungan Internasional karena senang berinteraksi dengan orang-orang
baru, begitu alasannya.
Dan Sofiyah gadis cerdas nan manis yang sedikit
tomboi ini berniat melanjutkan ke teknik sipil atau jurusan semacamnya, karena
ia tertarik dengan beragam hal tentang arsitektur dan bangunan.
Mereka
semua memiliki impian yang beragam, namun sama-sama mempersiapkan jalannya
dengan sebaik-baik upaya.
Berlanjut ke Aditya, ia berniat melanjutkan
ketertarikannya terhadap ilmu alam yang bermanfaat bagi masyarakat, dengan
memilih salah satu dari penjurusan yang berkaitan dengan ilmu alam.
Alasan
utamanya adalah membuat apa yang ia pelajari mampu memberikan manfaat bagi
manusia dan alam. Dan
dia berniat melakukan perjalanan ke Jepang karena Jepang termasuk negara yang
maju dalam hal bioteknologi.
Sedangkan aku karena sudah tertarik dengan dunia
menjahit, membuatku tertarik melanjutkan ke jurusan Tata Busana. Karena menurutku
umat Islam pun perlu tetap gaya tapi syar’i. Untuk menciptakan trend fashion
tentu aku perlu ilmunya dan sepertinya aku amat ingin belajar di pusat mode
dunia, Paris.
Mungkin
salah satu alasan aku memilih belajar di Jepang adalah karena ucapannya saat
itu. Dan aku sungguh tak menyangka ia benar-benar akan ke Jepang. Namun, aku
belum yakin pasti bahwa orang yang ia maksud dalam statusnya adalah aku.
Kami
bersepuluh cukup dekat saat itu dan bagai sahabat karib yang senantiasa
berkumpul dan berbagi banyak hal. Aku ingat betul bukti petuah Jawa yang
berbunyi “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino” yang artinya, cinta itu
datang karena terbiasa. Dua temanku menjadi semakin dekat karena kami sering
berkumpul, mereka yang terbiasa bertengkar dan meledek satu sama lain, ya Juan
dan Rina.
Tapi
ada juga sahabatku yang lain, Faisal dan Sofiyah, karena gadis manis ini masih
belum tertarik dengan urusan perasaan, patah hatilah Faisal saat itu. Ternyata
petuah itu tak selamanya sama bagi semua orang.
Lain lagi dengan Aditya, dia
malah bilang padaku, “Sewaktu aku di Jepang nanti, mari kita bertemu”.
Mataku terbelalak, jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya, dan seribu
tanya menyergap benakku. Apa maksud perkataanya?. Karena aku terlalu
terkejut saat itu, tak sepetah katapun mampu keluar dari bibirku.
Aku
perhatikan lagi status terakhirnya, ada salah seorang temannya yang memberi
komentar, “Kayaknya dari kemarin ni status buat ‘seseorang’. Siapa tuhhh???”
dengan tambahan gambar emoticon wajah tersenyum penuh arti.
Aku menunggu
penasaran. Tiba-tiba ada komentar lagi, “Iya, siapa tuh dit?? Wah, ga
nyangka Adit ternyata punya dedemenan juga dia. Hahaha” dengan tambahan
emoticon wajah tersenyum lebar.
Ternyata komentar dari temannya yang lain lagi.
Aku masih menunggu. Karena bosan kutinggalkan iPad kesayanganku sejenak, sambil
menyibukkan diri membersihkan rumah bersama Touko san.
***
Seperti
biasa, Touko san sedang menyiapkan sarapan dan Makoto san sedang membaca koran
pagi di teras depan sambil menunggu sarapan siap. Aku membantu Touko san
menyiapkan meja, dan kami bertiga sarapan bersama. Begitulah rutinitas pagiku
selama di Jepang.
Setelah
sarapan, aku rasanya ingin pergi keluar, “Apakah Touku san ingin pergi
berbelanja setelah ini?” tanyaku, “Iya, ada beberapa yang perlu aku
beli. Apa kamu ingin aku belikan
sesuatu?” jawabnya,
“Aaa.. tidak, karena hari ini aku libur,
kalau boleh aku ingin ikut pergi berbelanja. Apakah anda keberatan jika saya
ikut bersama anda?” ucapku,
“Waah..tentu saja aku tak keberatan. Aku
jadi ada teman ngobrol sambil menuju ke sana. Kalau begitu pergilah bersiap.“
serunya sambil tersenyum ramah. “Hai’...” sautku dan aku pun bergegas
naik ke lantai dua untuk bersiap.
Sebelum
berangkat aku cek iPad dan smartphone Samsung S5 kesayanganku yang sedang dicharge,
sama sekali belum ada jawaban.
Aku alihkan rasa penasaranku ke modus pengalihan
menjadi semangat seperti biasanya. Sambil tersenyum aku menuruni tangga dan
kudapati Touko san sudah siap dengan tas jinjingnya.
“Otou-san kami
berangkat dulu” seru Touko san pada Makoto san. Mereka selalu pamit kalau
pergi maupun pulang. Rasanya akrab sekali keluarga ini. “ya...” balas
Makoto san.
***
Tempat
yang akan kami tuju adalah toko swalayan besar yang berjarak dua blok dari
rumah. Dan Touko san selalu membawa tas jinjing karena toko itu akan memberi
potongan bila pembeli membeli dengan membawa tas jinjingnya sendiri.
Hal ini
untuk mengurangi penggunaan plastik di kalangan masyarakat. Kami berjalan
bersama sambil membincangkan banyak hal, Touko san merupakan orang yang
periang, hangat dan pengertian, jadi siapapun mudah dekat dengannya. Sungguh
pas dipasangkan dengan Makoto san yang agak pendiam dan berwibawa.
Kami
sampai sekitar 15 menit kemudian. Biasanya Touko san akan mengajakku memilih
bahan makanan untuk makan malam ini, karena hari ini hari Sabtu, terkadang
Makoto San mengajaknya pergi keluar, entah nonton bioskop, opera, atau
menghadiri undangan.
Jadi Touko san khawatir jika meninggalkanku tanpa bahan
makanan tersedia di lemari pendingin. Setelah memilih bahan makanan, aku minta
Touko san menunggu sebentar karena aku berniat membeli beberapa makanan ringan.
Saat
aku tengah memilih makanan ringan, aku merasa ada yang memandangiku dari jauh,
namun saat aku menoleh tak ada seorang pun yang memandangiku, “Mungkin hanya
perasaanku saja.” Ucapku dalam hati.
Aku alihkan pandangan ke jam di
tanganku, “Aaah..sudah 15 menit aku memilih di sini. Touko san pasti resah
menungguku.” Seruku pelan.
Karena
terburu-buru lari dengan kekuatan penuh, tanpa sadar aku menabrak dengan keras
orang yang ada dihadapanku,
“Aah..gomenasai..” seruku sambil menunduk
dalam tanpa lebih dulu menatap orang itu. “Dai jobu..” balasnya.
Aku
beranikan diri menatap orang itu sejenak, sambil meminta maaf dengan
sungguh-sungguh, “Maafkan saya..saya benar-benar minta maaf. Saya permisi.”
Ucapku sambil membungkuk sekali lagi lalu berjalan meninggalkannya.
Tapi
tak lama dia memanggilku, “Matte. .tunggu sebentar.” Panggilnya. Aku
menoleh lagi, “Ya, apa anda memanggil saya?” Balasku.
“Iya, boleh
saya tau siapa nama anda?” jawabnya, “Nama saya?” kenapa orang ini
bertanya namaku, pikiran buruk membayangiku. Jangan-jangan aku akan dituntut. “Aku
dari keluarga Tachibana” jawabku spontan.
“Apa
anda sudah menikah?” tanyanya lagi. Sungguh keterlaluan pikirku, ia
menanyakan salah satu pertanyaan yang paling tabu untuk ditanyakan di Jepang,
terlebih kami belum saling mengenal.
“Siapa sebenarnya orang ini?” tanyaku dalam hati. “Maaf ? Boleh saya tau
anda ini siapa?” tanyaku balik bertanya pada orang itu.
“Aah.
.maaf. Saya belum memperkenalkan diri tadi karena saya terlalu senang karena
bertemu orang Indonesia di sini.” Jawabnya menggunakan bahasa Indonesia.
Aku tersentak, “Ah..ternyata dia orang Indonesia juga!” gumamku dalam
hati. Aku perhatikan baik-baik perwakannya rasanya aku belum pernah bertemu
orang ini sebelumnya. “Saya Faisal.” Lanjutnya, “Apa kamu masih
ingat? Faisal dari SMA 59.”
Aku
tersadar, aku perhatikan lagi dengan teliti dari ujung kepala sampai ujung
kaki. ”Subhanallah..ternyata kamu, aku benar-benar nggak ngeh, sekarang kamu
lebih tinggi dari aku. Tambah keren lagi. Jadi pangling.” Seruku senang.
“Kamu
tinggal di dekat sini? Sering ke sini? Kenapa kita belum pernah ketemu? Padahal
homestay-ku berjarak dua blok dari sini.” Tanyaku beruntun.
“Aaaa..aku
kebetulan sedang ingin berkunjung ke rumah salah seorang temanku. Kamu sedang
apa?” jelasnya. Aku bilang bahwa aku sedang menemani ibu asuhku berbelanja
dan aku sedang ditunggu. Akhirnya aku berpamitan,
“Hmm.. karena sudah lama
kita nggak ngobrol banyak kayak dulu. Gimana kalau kita sesekali pergi ke
beberapa tempat di Jepang. Aku pun baru beberapa bulan di Jepang jadi belum
banyak tempat yang aku kunjungi. Gimana?”, cegahnya sebelum aku pergi.
“Kamu boleh ajak temanmu kok.” Jawabnya menenangkanku, karena wajahku menampakkan raut khawatir. Ku balas tawarannya dengan senyum tulus dan anggukan setuju. Kemudian kami pun bertukar nomor handphone, disusul lambaian tangan dan ucapan, “Sampai jumpa.”
***
Untunglah
Touko-san masih sabar menungguku di dekat kasir. Ku lihat wajahnya sedikit
gusar, mungkin khawatir disertai perasaan tak sabar, dugaku dalam hati. Tapi
yang jelas ia langsung tersenyum senang saat melihatku muncul di hadapannya.
Saat perjalanan pulang ku ceritakan pertemuanku dengan Faisal pada Touko san.
Dan ku ceritakan bagaimana sosok Faisal yang tingginya sekitar 170 cm serupa
Makoto-san, dengan tubuh berisi dan gaya berpakaian yang casual, tak banyak
perubahan sejak lulus SMA dulu.
Wajahnya
nampak amat senang, “Waah...ternyata Lita chan memiliki teman dekat
laki-laki. Aku pikir kamu tak terlalu senang berteman dengan laki-laki.”
Komentarnya sambil tersenyum hangat.
Aku merasa Touko-san seperti ibuku sendiri
yang seringkali mengamati tumbuh kembang anaknya. “Hmm..aku jadi rindu mama..”ucapku
dalam hati. Aku pun balas tersenyum sambil menatapnya dalam.
“Aku
tetaplah wanita biasa, Islam pun tak melarang interaksi antarlawan jenis selama
memang tujuannya baik dan selama tidak berbuat yang ‘keterlaluan’. Tapi kami
tidak sedekat yang anda bayangkan Touko san.” Jelasku, Touko san
menggangguk pelan sambil tersenyum ramah mendengar pembelaanku..
Topik
perbincangan berganti dengan cerita Touko san tentang kebanyakan pengalamannya
saat muda dulu. Saking asyiknya, tak terasa kami sudah tiba di rumah. Setelah
selesai membantu Touko san di dapur dan membersihkan rumah, aku mulai
menyibukkan diri lagi dengan setumpuk tugas kuliahku. Terlupa dengan rasa
penasaranku pada status Aditya.
***
Sejak
pertemuanku dengan Faisal di swalayan pagi itu,
kami jadi sering berkomunikasi. Aku baru tahu ternyata ia mengambil
jurusan sosial-humaniora di Tokyo University, entah apa istilahnya. Yang jelas
ia mengambil program pertukaran selama satu tahun dan yang baru dimulai awal
tahun ini. Akhirnya kami seringkali pergi berkeliling Tokyo.
Terkadang
ke taman Ueno (orang Jepang menyebutnya Ueno Koen) yang nampak sangat
indah ketika musim semi. Ketika musim semi taman Ueno dan beberapa taman di
Tokyo banyak dijadikan tempat berpiknik masyarakat, sambil memandangi keindahan
bunga sakura dengan ditemani teh hijau. Tak jarang aku bertemu orang Indonesia
di sana.
“Rasanya
sungguh beruntungnya kita bisa melihat pemandangan seindah ini.” ujarku
refleks saat melihat warna bunga sakura memenuhi setiap sudut taman.
“Subhanallah..Yang
telah mencipatakan keindahan ini. This is my first time.” Saut Faisal.
Jantungku berdegup, melihat ekspresinya saat mengucap kata indah itu. Angin
berdesir menerbangkan lamunanku, seketika aku jadi salah tingkah.
Ku coba
tutupi dengan membalas perkataannya, “Me too..this is my first spring in
Japan.“ sambil tersenyum sendiri tanpa berani menatapnya yang tengah
menatapku.
Sejak
pertemuan kami, hampir setiap weekend kami bertemu dan berkunjung ke
beberapa tempat. Taman Ueno adalah tempat yang paling sering kami singgahi. Itu
karena di sekitar taman Ueno terdapat banyak museum nasional. Kami pernah
mengunjungi Museum Nadional Tokyo, museum terbesar di Jepang yang khusus untuk seni
tradisional orang Jepang.
Kemudian
berlanjut ke Museum Nasional Tokyo Seni Modern yang
letaknya berdekatan dengan Istana Kekaisaran Tokyo. Di Museum Nasional Tokyo
Seni Modern penuh dengan koleksi-koleksi seni modern Jepang serta lebih 40.000
film-film Jepang dan asing. Orang Jepang sungguh menghargai budaya dan tradisi.
Mereka juga merayakan banyak matsuri setiap tahunnya.
Kami tentu
tak menyia-nyiakan kesempatan ini begitu saja tanpa mengabadikannya dalam
bentuk foto. Kami mengamati aktivitas masyarakat sekitar, dan sesekali
berdiskusi tentang budaya Jepang.
Beruntungnya kami berdua ‘nyambung’. Faisal
yang berlatar belakang sosial-humaniora, dan aku yang berlatar jurusan ‘fashion
designer’. Kami sama-sama memanfaatkan perjalanan wisata ini untuk menghasilkan
banyak inspirasi guna prestasi belajar kami. Faisal mencoba membuat essai dan
aku mencoba membuat beberapa sket design.
Selain
tempat-tempat yang ‘serius’, kami pun sempat mampir ke Kebun Binatang Ueno.
Akhir-akhir ini aku merasa sedikit ‘aneh’ saat pergi bersama Faisal. Untunglah
aku mengajak Kaede chan. Ini sudah perjalanan wisata kali ke lima kami. Kalau
aku ingat-ingat seperti sudah sekitar dua bulan aku sedikit lebih akrab dengan
Faisal.
Selepas
kelulusan SMA kami tak banyak berkomunikasi, pun dengan temanku yang lain. Aku
jadi terlupa sejenak tentang Aditya. Tiba-tiba rasa penasaranku timbul kembali.
Kalau aku bertemu Faisal sejak dua bulan lalu, berarti Aditya pun sudah sekitar
dua bulan di Jepang. Tapi, kenapa tak jua ada kabarnya.
Ia tak lekas
menghubungiku. Ingatan masa SMA itu terus terngiang di benakku. Tak ingatkah
dia pada ucapannya sendiri? Lantas kenapa ia harus menulis status
seperti tengah ‘ditunggu’ seseorang? Aaaaahh.. memikirkan itu membuatku
pusing. Terlebih setelah semakin akrab dengan Faisal. Aku menjadi lebih
sensitif soal perasaan.
Tak kusangka
ketika perjalanan wisata keenam-ku bersama Faisal ia mengajak seseorang. Aku
terkejut seketika, saat mendengar nama orang itu dipanggil oleh Faisal dari
kejauhan. “Aditya...”
Faisal tak pernah bilang sebelumnya kalau
perjalanan kali ini Aditya akan ikut serta. Faisal pun tak banyak menceritakan
kalau ia punya rencana seperti ini. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam
karena saking terkejutnya. Perasaan senang, dan haru bercampur kesal membuat
kerongkonganku tertahan, bahkan untuk sekedar berucap, “ya” saat
ditanya.
***
Entah
mengapa sejak perjalanan hari itu aku malah lebih murung. Semakin sulit rasanya
meraba hatiku sendiri. Aku bahkan tak tahu apa yang aku mau.
Kuliahku terasa
semakin berat saja akhir-akhir ini. Mungkin karena aku tak cukup konsentrasi
saat perkuliahan berlangsung. Akhirnya hasil tugasku seringkali kurang
memuaskan dosen pengampu. Dan beberapa kali aku ditegur. Dan diberi beberapa
tugas tambahan sebagai tugas perbaikan.
Akhirnya
tugas-tugas itu membuatku lupa sejenak dengan urusan hatiku. Walaupun rasanya
aku tiba-tiba rindu saat-saat berdiskusi bersama Faisal. Tapi aku juga masih
tak bisa menghapus perasaanku pada Aditya. Enam tahun aku menunggunya. Terlebih
sekarang ia hadir lagi dalam kehidupanku.
Aku
berusaha berkonsentrasi pada kuliahku. Sebentar lagi akan ada Festival
Fashion Design dan aku menjadi salah satu panitia penyelenggaranya. Belum
lagi aku dan teman-teman diwajibkan ikut mengisi stand pameran dengan hasil
karya kami. Festival ini dihadiri banyak pihak dari beragam kalangan dan latar
belakang. Festival ini bertema “Eco Fashion for Our Generation.”
Tak
kusangka ternyata di salah satu stand yang diisi oleh pihak di luar kampus,
diisi oleh salah seorang teman dekat Aditya, bernama Tania.
Aku tahu mereka
dekat karena tak sengaja aku melihat Adit menemaninya. Yang belakangan baru aku
tahu ternyata mereka sudah bertunangan.
Ternyata yang ingin ditemuinya bukanlah
aku. Akibatnya selama festival aku lampiaskan kekecewaanku dengan lebih keras
mempersiapkan semua hal. Tak kubiarkan ingatan tentang Aditya terbesit di
benakku lagi. Dadaku sesak, hatiku serasa remuk, terluka mengingat semua
kenangan dan kenyataan itu.
***
Faisal
yang sejak dulu tahu perasaanku terhadap Adit mencoba menghiburku. Tak kusangka
Faisal pun merasakan ketertarikan padaku, bahkan sejak dulu sebelum kami lulus
SMA.
Karena terlalu terkejut aku mencoba menjaga jarak dengannya. Aku yang
masih belum bisa berpikir jernih, tiba-tiba merasa takut membalas SMS atau
mengangkat telpon darinya. Bahkan aku tak menjawab pertanyaannya di jejaring
sosial.
Sampai
satu hari ia meminta maaf karena tanpa pikir panjang telah mengungkapkan apa
yang dirasakannya. Dia tak mempertimbangkan kesiapan perasaanku.
Kemudian ia
mencoba memintaku bertemu di taman Ueno karena hal mendadak yang perlu ia
sampaikan yang tak bisa ia jelaskan melalui SMS maupun telepon.
Akhirnya
kamipun bertemu. Ia mengatakan akan kembali ke Indonesia karena ibunya sedang
sakit dan ia diminta segera kembali. Ia tak tau apakah akan kembali ke Jepang
atau tidak akan kembali lagi. Yang jelas kemungkinan kembali sangat kecil,
dikarenakan kondisi sang ibu, jelasnya.
Secara
langsung ia ucapkan permohonan maaf tulus. Hatiku yang mendengarnya terasa
teriris, perih. Semakin bimbang saja hatiku.
Haruskah aku biarkan ia pulang?
Atau aku katakan saja bahwa aku ingin ia kembali?
Sayang, aku pun tak tahu
pasti bagaimana perasaanku padanya. Aku tak benar-benar yakin telah
menyukainya, karena rasanya tak serupa dengan perasaanku terhadap Aditya
sebelumnya. Sangat berbeda.
Tapi
kuakui waktu dua bulan akrab dengannya membuatku merasa sedih berpisah. Dan
yang lebih menyakitkan, ia akan kembali ke kampung halamannya di Surabaya.
Walaupun masih di satu pulau Jawa, belum tentu aku dapat bertemu dengannya
secara kebetulan. Karena aku belum pernah sekalipun ke sana. Dan tak ada
keluargaku yang ada di sana.
Yang jelas saat itu, aku hanya mampu tersenyum
setengah hati. Aku mengutuki diri karena tak mampu memberi keputusan saat itu.
Ia
mengatakan akan berangkat seminggu lagi, karena ia masih harus mengurus
beberapa hal. Dan ia akan berangkat melalui Bandara Internasional Narita yang
membutuhkan waktu sekitar dua jam dari pusat kota.
Aku tak mampu mendengar
dengan baik, karena terlalu sibuk menahan air mata dan gemuruh hatiku. Baru aku
hendak menerima perasaannya, tapi kini ia malah harus pergi dan belum tentu
kembali.
Aku
hanya menunduk dan tak berani menatap langsung ke arahnya, karena aku khawatir
tak tahan menahan air mata.
Pertemuan yang dinanti malah menjadi akhir di
tempat perjalanan pertama kami. Seolah menorehkan noda di lembar perjalanan
wisata kami yang indah itu.
Siapa yang menyangka bahwa perjalanan itu justru
menumbuhkan perasaan yang berbeda di hati kami? Siapa pula yang menyangka
perjalanan itu akan berakhir hari ini?
Saat
keberangkatan
Setelah
pertemuan di taman itu aku menangis sejadi-jadinya bahkan sesampainya di rumah
air mataku masih tak mau berhenti. Sampai-sampai Touko san merasa khawatir.
Akhirnya
aku ceritakan semua pada Touko san. Dan ia menyarankan aku untuk beristirahat
dan menenangkan diriku terlebih dahulu. Aku ikuti sarannya.
Aku laksanakan
shalat istikharah selama seminggu penuh. Dan aku dapati keyakinan dalam hatiku.
Aku sampaikan niatanku pada Touko san. Dan ia mendukungku, tapi aku tak tahu
harus berbuat apa karena keberangkatannya sudah tinggal besok. Aku coba cari
akal dibantu Touko san.
Touko
san menyarankanku menghubungi Faisal, dan menanyakan kabarnya sekaligus
memastikan keberangkatannya. Keesokan harinya, aku bangun sangat pagi karena
gelisah.
Setelah shalat shubuh aku berdoa dengan sungguh-sungguh untuk
memastikan kata hatiku. Aku langsung bergegas menuju Bandara Internasional
Narita. Menyusulnya, untuk mengatakan perasaanku padanya.
Sesampainya
aku tak jua mendapatinya, beruntung sebelum ia check in aku melihatnya.
Segera ku panggil. Wajahnya nampak terkejut dan terlihat seperti senyum kecil
tersungging simpul di bibirnya.
Hhhh...hhhh.... Karena berlari, nafasku
terengah dan aku perlu mengatur nafas terlebih dahulu sebelum mengatakan apa
yang ingin ku katakan.
Deg...deg...deg...
degupan
jantungku membuat dadaku kian bergemuruh.. “Semoga saja degupanku tak
terdengar sampai ke telinga Faisal”, gumamku khawatir.
Setelah nafasku
kembali teratur, aku tarik nafas dalam-dalam, dan aku katakan, “Aku ingin menunggu.
Aku ingin kamu kembali.” Ucapku pelan sambil menunduk malu.
Senyumnya
semakin tampak jelas. Ia pun menarik nafas panjang, dan dengan lantang ia
ucapkan, “Kami akan segera menikah.” Semua orang yang berlalu, menatap
sambil tersenyum melihat kami.
Deg...deg..deg... Mukaku bersemu merah
karena merah bercampur senang dan kaget. Siapa pula yang menyangka akan
seperti ini?
“Insya
Allah, aku akan segera kembali. Tunggu aku.” Ucapnya. Lantas ia bergegas check
ini karena sudah terdengar announcement petugas. Ia berlari sambil
melambaikan tangannya disertai senyuman manis ke arahku. Aku balas lambaiannya,
disertai anggukan pelan dan senyuman bahagia.
***
Ternyata
kepulangannya ke tanah air bukan karena ibunya sakit. Tapi karena ingin menguji
perasaanku. Untunglah aku melakukan seperti yang ia harapkan. Ia hampir putus
asa karena aku tak terlihat merespon apa yang ia rencanakan.
Walaupun ia senang
setengah mati karena melihatku sedih saat ia bilang akan pergi dan belum tentu
akan kembali. Seandainya aku meresponnya jauh sebelum ia pergi mungkin ia
takkan jadi ke pulang ke tanah air saat itu.
Namun, karena aku tak jua merespon
dan ia sudah terlanjur izin, akhirnya ia tetap pulang ke tanah air. Ia bilang
karena sudah terlanjur pulang, akhirnya ia sampaikan niatnya menikahiku pada
kedua orangtua kami. Akhirnya kami berniat menikah tepat setelah kelulusan
gelar sarjana.
***
Aku
dulu hanya bersungguh-sungguh pada hal-hal yang aku sukai saja. Namun setelah
hampir menghabiskan masa dua semester aku belajar dan mulai terbiasa untuk
bersikap sungguh-sungguh pada apapun yang menjadi tanggung jawabku.
Aku mulai
terbiasa menjadi pribadi yang disiplin, justru karena aku terbiasa dengan
kondisi tertekan oleh waktu yang terbatas, tugas yang menumpuk dan tuntutan sensei
yang menuntutku menghasilkan kinerja yang maksimal yang ku mampu.
Namun,
semua itu terbayar dengan apresiasi penuh dari dosenku. Beliau tak hanya
menuntut yang tinggi padaku, tidak hanya mencerca dan membiarkan aku berjuang
sendirian, tapi beliau memberikan apresiasi yang tak kalah tinggi ketika hasil
karyaku baik, tak lupa mengoreksi kekuranganku dan kawan-kawan jika ada hal
yang memang perlu diperbaiki. Beliau selalu mengamati hampir setiap mahasiswa
yang beliau ajar.
Sungguh
pengalaman yang amat membekas dalam kehidupanku saat ini. Bahkan ketika kini
aku telah menjadi seorang istri dan ibu sekaligus seorang Fashion Designer
serta Konsultan Fashion terpercaya di Indonesia. Dan suamiku sekarang bekerja
di Departemen Luar Negeri.
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
(Qs. Al Hujuraat: 13).
Alhamdulillah
aku diberi kesempatan untuk membuktikan ayat indah ini. Memahami bahwa masih
ada banyak yang harus dipelajari. Bahwa saling mengenal itu menyenangkan.
Terimakasih ya Allah.
Anis Septiani
Dibuat untuk tugas telaah sastra
2014
(Editor: Annisa Dewanti Putri, Mei 2016)
*nama tokoh & instansi fiktif
The great description lies in how the author feel and imagine, and I do feel it when i read what u wrote :) you did it great
BalasHapusXD
HapusThanks alot dewaaaaaannn..XD
It's because of you too. ;)
iii waaaw... ceritanya kayanya penuh dengan referensi yak nis, terus kok ini romance gitu, bikin baper wkwkwk
BalasHapusAda yak nis begitu~ aha~ jangan2 mimpi anis XD
Btw, ini Telaah Sastra temanya dulu apa deh? Lupa. dan aku sama sekali gak kepikiran cerita macam ini wkwk
Yes..
HapusTerinspirasi dari 1 drakor favorit dan 1 buku panduan..XD
Nuha bapeer??
Alhamdulillah..XD
*brarti sukses
Ga ads temanya kayaknya. Bebas..XD